"Jadi kau sedang mempermainkan siapa Anisa? Siapa yg sedang berada di permainanmu? Aku harap kau segera menghentikan permainanmu itu," kata Nun memulai percakapan.
Gadis itu masih tepekur hanya terlihat kacamatanya yg mulai berbayang.
Kemudian ia menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan kasar.
" Aku sedang tidak bermain, aku hanya ingin kebebasan, "jawabnya dengan sorot mata tajam seperti ingin menelan Nun.
" Ketahuilah teman dan sadarilah dia pencinta musik dalam darahnya mengalir seni musik. Sedangkan kau pencinta lantunan ayat Allah. Kalian adalah dua hal yg berlawanan," katanya sembari mengangkat satu alis matanya
"Lalu kenapa? Apa masalahnya?" Gadis itu masih berusaha mengelak.
"Karena keduanya tak mampu berkorelasi dengan baik, kau paham itu," jawabnya dengan nada tinggi lalu melangkah pergi meninggalkan Anisa.
"Semua bisa diatur Nun!" teriaknya dari jauh.
"Kecuali hatimu yang tidak bisa diatur, jangan terjebak pada hubungan yang salah," jawabnya sebelum hilang di persimpangan jalan.
Anisa merenung seorang diri, berusaha mencerna kalimat dari sahabatnya itu, nampak sorot wajah yang mulai gundah darinya. Ia mengambil ponsel di sakunya lalu mencari sebuah nama dan mulai mengetik pesan. Beberapa menit menunggu, seseorang yang ditunggunya datang.
"Ada apa? Sayang. Kangen lagi," kata pemuda itu tersenyum.
Gadis itu hanya membalas dengan senyuman. Ia menarik napas berat,
"Ada yang ingin aku katakan sejak lama, bagaimana jika kita akhiri saja sampai di sini," katanya tanpa basa-basi terlebih dahulu.
Pemuda di depannya nampak kikuk dan bingung dengan kalimat yang baru saja meluncur lancar dari mulut perempuan yang dicintainya tersebut.
" Kita? Maksudmu, ta ... pi tidak ada angin tidak ada hujan, kenapa?"
" Kamu tahu kan aku mempertimbangkan ini sejak lama," jawabnya dengan wajah teduh.
"Lalu kalau diakhiri apa yang akan hilang?" tanyanya menohok
Kini, tak ada satu pun kalimat yang keluar dari bibir Anisa. Ia mendadak gagu berucap hanya mampu menatap penuh iba pada pria yang sangat dicintainya tersebut. Wahyu balik menatap Anisa yang bergeming sedikit pun itu. Tangannya menyentuh lembut pipi gadis itu.
"Aku sayang kamu dan kita sama-sama nyaman, aku sudah melakukan apapun yang kamu mau. Apa yang salah, Sayang? Please jangan jauh dariku tetaplah jadi penyemangatku."
Aku pun tak mau melakukan ini Wahyu, kata gadis itu bicara pada hatinya yang mulai tak keruan. Bulir bening yang dari tadi tertahan kini tak tahan lagi keluar dari mata indahnya, ia melepaskan tangan hangat itu dari pipinya dan mulai pergi meninggalkan Wahyu.
Malam yang membimbangkan, ia hanya tepekur di sudut jendela kamar sembari memandang cahaya bulan. Ia mulai terngiang dengan kalimat tanya yang menohok tadi sore " Lalu kalau diakhiri apa yang akan hilang?"
"aku, dia, cinta kami mungkin" katanya menerka jawaban. "Berengsek!" gerutunya.
Semua itu tak ada yang hilang dan masih terus bertumbuh. Berapa kali mereka mencoba untuk memutuskan hubungan dan hasilnya nihil berujung merajut tali kasih kembali.
Wahyu pemuda yang tak mau meninggalkan kemampuan bermusiknya, perindustrian musik sedikit telah memberinya keuntungan. Kariernya berawal dari musik dan musik sudah mendarah daging baginya.
Beda halnya dengan Anisa, ia terlahir dari keluarga religius dan anti musik. Namun, di saat virus merah jambu melanda, hatinya tak cukup kuat untuk menolak Wahyu. Pemuda yang dikenalnya di kampus hijau itu.
Mereka menjalani hubungan diam-diam tanpa diketahui pihak keluarga Anisa. Kebohongan terbesar bagi Anisa. Lagi-lagi hanya waktu yang dapat menjawab kehadiran Wahyu dalam hidup Anisa, menjadikannya terus istikamah atau justru mengikuti arus Wahyu.
Lama ia berpikir dan terus sabar untuk membimbing Wahyu. Namun tak ada yang berubah darinya. Hatinya mulai goyah.
Menikah tidak cukup hanya dengan cinta, niat baik, dan menerima apa adanya. Lebih dari itu ada banyak hal yang harus dipertimbangkan apalagi Wahyu adalah pemuda yang jauh dari agama. Jangan bilang setelah menikah dapat diubah tentu itu akan membuat terengah-engah.
Belum lagi restu dari sang Ayah tak kunjung Anisa dapatkan.
harusnya aku memang sudah memutuskan sejak lama, tapi apa alasan yang tepat, pikirnya.
"Kamu sadar jelas bahwa islam tak pernah mengajarkan aktivitas pacaran.
Bagaimana bisa Nisa, kamu menjalani aktivitas yang tidak ada dalam syariat islam, Umi kecewa sama kamu!"
Hari itu Anisa memberanikan diri untuk berterus terang pada Ibunya, ibunya benar-benar kecewa, semua yang dikatakan sang Ibu itu benar. Jika laki-laki hanya mau bermain-main saja tentunya jalan pacaran yang ia pilih. Memang sejauh ini tak ada tanda-tanda keseriusan untuk mengarah ke pernikahan dari sang pacar. Belum lagi Anisa pun jauh dari kata siap untuk ke jenjang tersebut. Ia sadar segera mengambil keputusan yang tertarik ulur dari waktu ke waktu itu.
Dengan langkah mantap di sore gerimis itu ia bertemu di sebuah kafe dengan sang kekasih. Diliriknya jarum jam yang terus meloncat dari angka ke angka. Tak lama kemudian Wahyu datang dengan motor besarnya.
"Lama menunggu ya?" tanya pemuda itu
Anisa hanya menaikkan kedua alis dan mengerutkan dahinya. Ia sudah bosan dengan sikap Wahyu yang jika diajak bertemu selalu terlambat. Lagi-lagi ia mengatakan kalimat pisah seperti waktu itu. Wahyu mencoba menyentuh jemarinya namun segera ditarik oleh Anisa.
"Maaf Wahyu, aku tak ingin disentuh lagi dan aku ingin berubah menjadi muslimah yang beriman sebagaimana yang diharapkan kedua orangtuaku"
Barisan kalimat yang cukup menyayat hati Wahyu.
"Kamu sudah yakin?"
Anisa mengangguk dengan mantap.
Nampak raut wajah Wahyu kecewa dan kesal dengan penuturan dan keputusan Anisa. Anisa segera berlalu mengucapkan permisi pada Wahyu. Tiba-tiba Wahyu menarik Tangan Anisa dengan kasar dan mendorong badan Anisa ke dinding.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Anisa "tak Malukah kau dengan orang lain yang melihat?"
Wahyu tak menghiraukan pertanyaan Anisa. Ia mendekatkan wajahnya sangat dekat dengan wajah Anisa, menatapnya tajam dan melumat habis bibir Anisa. Anisa berusaha memberontak dan mendorong tubuh Wahyu dari hadapannya. Namun tangan Wahyu sangat kuat mengunci kedua tangan Anisa ke dinding. Anisa menitikkan air mata karena kejadian itu dan dengan spontan menampar pipi Wahyu.
Beruntung pengunjung kafe sore itu tidak begitu ramai hanya terisi dua meja yang berjauhan dan tidak terlalu hirau satu sama lain.
Wahyu diam tepekur, dan membiarkan Anisa berlalu.
Malam itu ia merasa telah berdosa dan terus menangis di atas sajadah. Ia merasa kotor karena kesalahan yang ia lakukan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar