14 Maret 2021
Waktu sendiri penginnya punya pacar, giliran udah punya malah gak nyaman. Aku terkadang bingung dengan perasaan ini yang kadang benci kadang suka. Ada sewaktu-waktu aku benar-benar membencinya dengan sikapnya yang melelahkan pikiranku saja. Bukan karena apa, aku sulit mengungkapkannya. Sejujurnya aku meragukan semua tentangnya. Aku ragu dengan ketulusan hatinya, kebaikannya, keimanannya. Entahlah aku merasa benar-benar lelah sekali dengan semua yang ada. Sedangkan untuk mengakhiri hubungan ini, aku benar-benar berat. Bukan karena aku masih sayang atau tidak melainkan aku malu dengan orangtuaku, keluargaku yang lain yang sudah mengenalnya. Aku takut keluargaku berekspektasi besar dengan hubungan kami. Bagaimana jika ekspektasi itu meleset. Sejujurnya aku tidak mau ini terjadi padaku, sikapku terhadapnya telah ambigu. Memang hanya doa yang mampu mengantarkan cinta kami. Aku malu dengannya atas semua sikapku terhadapnya. Ia tetap sabar menghadapi kelabilanku, keegoisanku. Kini, aku mulai menyadari bahwa aku telah mencintai dirinya. Kami tidak bisa berpisah hanya karena hal sepele seperti ini. Aku benar-benar membuka hatiku untuknya.
16 maret 2021
Sengaja tulisan ini kutulis di bawah tulisan tanggal 14 maret. Dia. Lagi-lagi tentang dia. Bagaimana mungkin aku mengenal pria yang seperti gong. Dengan latar belakang orangtua seperti gong pula. Diam. Hanya senyap yang terus mengambil alih mereka. Ternyata memahami dirinya tak semudah itu. Chat dibalas lamban, jika ditanya tidak sedang ngapa-ngapain. Jujur, terkadang aku kesal dengan tingkahnya yang seperti itu. Bukan berarti pesan-pesanku itu harus dibalas gercep. Setidaknya beri jeda sejenak. Walaupun itu nanggung sekali. Entah lagi membaca, atau bermain media sosial kan.
Toh, aku bisa meluangkan waktuku membalas pesannya terkadang saat itu aku juga sedang sibuk. Tapi mampu meluangkan waktu. Bahkan saat aku sedang mengedit di laptopku. Aku masih bisa mengangkat teleponnya. Karena bagiku dia adalah prioritasku. Tapi, makin ke sini aku makin kesal. Berapa kali aku katakan, aku kesal, sangat kesal dengan semua tingkah lakunya. Oh andai waktu dapat kuputar. Aku ingin kembali tak mengenalnya. Tak mau diajak pacaran olehnya. Apa aku sudah menjadi manusia yang bodoh yang terkungkung rasa cinta kepadanya? Andai Tuhan dapat menjawab dengan cepat. Katakan padaku Tuhan, apakah dia benar-benar yang terbaik untukku? Atau Kau hanya sekadar memberikan ujian kepadaku melalui dirinya. Tak terhitung rasanya, bagaimana aku patah hati berulang kali, bagaimana aku bangkit kembali, bagaimana aku membuka kembali hati. Namun, semua tak membuahkan hasil. Mengapa? Aku belun juga dipertemukan dengan seseorang yang pas denganku? Aku lelah mencari yang seperti apa lagi. Barangkali aku tidak layak untuk dicintai oleh laki-laki, tapi aku normal Tuhan. Aku bukan penyuka sesama jenis. Tapi mengapa pengorbananku untuk cintaku selalu berakhir nestapa. Tak bisakah pertemukan aku dengan yang sesuai pada kriteriaku? Tak muluk-muluk Tuhan. Aku inginkan dia yang sama-sama berproses menuju baik, mencintaiku dan keluargaku, selalu mendekatkan diriku padaMu, bukan dari kalangan yang perokok. Bersifat akhlaqul karimah. Aku tidak ingin lagi mencari kekasih. Tapi suami. Tapi entahlah kapan aku bisa menemukan dia, dia yang pas denganku. Yang tidak pernah melukai perasaanku. Baik dari perkataan maupun perbuatannya.
21 Maret 2021
Hari ini adalah hari membingungkan bagiku. Antara aku harus turut bahagia atau bersedih. Sepupu perempuanku mengadakan pertemuan keluarga dengan calon suaminya. Di sisi lain aku bahagia akhirnya cintanya menemukan muara juga. Tetapi, di sisi lainnya juga. Aku merasa sedih sedikit cemburu, kesal. Karena aku akan berpisah dengan dia sepupu kecilku dulu. Sudah pasti jarang bertemu. Aku tidak bisa menjelaskan perasaanku saat ini, yang sedang bercampur aduk menjadi satu. Kadang ada rasa iri dengan kehidupan orang lain. Karier mereka lancar bahkan maju pesat, sudah menikah, memiliki pasangan, mempunyai anak. Keluarga bahagia. Sedangkan aku, apalah dayaku yang masih seperti ini-ini saja. Usahaku berapa tahun terakhir tak kunjung membuahkan hasil. Hari ini aku minta satu pada Tuhan. "Tuhan, tolong jauhkan aku dari rasa iri dengki membanding-bandingkan kehidupanku dengan orang lain". Karena aku tahu perjalanan hidup orang tak pernah bisa sama dengan perjalanan hidup kita.
22 Maret 2021
Sungguh, aku benar-benar trauma dengan jarak. Hubungan jarak jauh yang kujalani saat ini tak jarang membuatku gamang sendiri. Aku dibuat gelisah olehnya. Sebenarnya di sisi lain secara finansial aku belum terpenuhi, batinku pun belum siap untuk berkeluarga. Di usia yang seperti ini membuatku bingung melangkah. Langkahku sering kali gontai. Kita memang di negeri yang sama dan di provinsi yang berbeda. Bagaimana mungkin aku menemukan kecocokanku dengan jarak yang sulit kutempuh. Aku tak dapat berjanji untuk pergi ke kotanya atau barangkali sekadar main saja. Sudah sangat lama aku tak pernah mengunjungi kota asal nenek moyangku itu. Dan aku juga tak punya proyek dari pekerjaanku menuju sana. Bagaimana aku dapat menemuinya? Sedangkan dia sendiri juga tidak pernah ke kotaku. Aku tahu dan sangat sadar. Dia sedang merintis kariernya pun sama denganku. Justru itu aku tak yakin. Akankah takdir membawaku atau dia untuk saling bertemu. Dan bagaimana mungkin aku bisa mencintai seseorang hanya dari dunia maya. Dan herannya aku sungguh percaya kepadanya. Bagaimana jika suatu saat dia menemukan orang baru yang membuatnya nyaman? Bagaimana jika dia lupa dengan rasa yang telah dititipkannya padaku? Kekhawatiranku ini menjadikanku trauma dengan waktu yang telah berlalu. Di mana aku berharap banyak, dan keluargaku berekspektasi besar. Dan akhirnya. Cintaku kandas. Waktu itu terulang 2x. Benar 2x aku dibuat sesak dada ini. Aku menyimpannya sendiri tanpa orang lain tahu itu. Mereka hanya bisa menebakku perempuan tidak normal, jomblo sepanjangan, lesbian. Tanpa mereka tahu susah payahnya aku merawat luka.
7:53
Rasanya pagi ini dingin sekali. Masih bersyukur aku bisa terbangun pagi ini walaupun dengan bekas susah hati semalam yang tak kunjung juga hilang. Kadang aku terpikir untuk tidak membuka mata lagi, ingin tidur selamanya saja, agar tak kuketahui kenyataan yang terjadi. Bawa aku lari, lari dari kenyataan yang tiada arti ini. Duhai, nyawaku ada apa denganmu? Apakah kau mulai depresi? Bagaimana? Bagaimana ini? Aku tak dapat berkonsenterasi lagi dengan aktivitasku. Luka batin ini menyiksaku. Susi, sepelik inikah kau tempo hari? Bagaimana keadaanmu di sana? Aku ingin tak bisa menangis lagi. Aku ingin kering airmataku. Agar mereka tak melihatku bersedih lagi. Aku ingin menjadi orang yang berhati batu. Oh, dunia katakan padaku, kepada siapa aku harus memeluk masalahku? Tuhanku telah muak dengan keluhku. Simpan, simpan semampuku. Aku harap, kewarasan masih memihakku jika tidak mati saja aku. Dunia ini melelahkan perjalananku.
23 Maret 2021
Dua malam tak bisa tidur. Fase tidur semakin berantakan. Cuma pengin menyampaikan sesuatu mlm ini, meski ngetik sambil sedikit menjatuhkan bulir bening. Aku mungkin harus lebih banyak bersyukur telah dipertemukan dgn org seperti kamu. Aku bangga memiliki kamu. Ternyata selama ini aku punya harta yg paling berharga dlm hidupku. Dan kamu adlh harta baruku yg terpenting. Terima kasih telah bertahan dari wanita yg labil ini. Terima kasih telah bersabar dari wanita yg ego ini, terima kasih telah menjadi pundak utkku bersandar, terima kasih telah menjelma sbg malaikat pd setiap permasalahanku. Terima kasih telah mempertahankan wanita jelek ini. Terima kasih untuk support dan dukungannya. Terima kasih atas waktunya selama ini. 1 tahun masih sangat belia sekali. Aku harap kamu tak pernah berubah tetaplah menjadi imam yg kukenal saat ini dan seterusnya. Terima kasih tak pernah jenuh memeluk erat sikapku yg kadang menjengkelkanmu. Terima kasih atas pelajaran hidup yg telah kau lalui. Terima kasih utk siap nilai-nilai yg diberikan. Aku cukup bahagia bersamamu. Meski harus mengalah pada jarak, yg kadang membuatku ragu melangkah. Namun, tak henti kusematkan doa utk kebaikanmu mungkin (kita). Aku harap semesta merestui hubungan ini. Cukup kau tak ada yg lain lagi. Kuharap kamu adlh hati terakhir tempatku berlabuh. Setia tanpa diminta. Yang tak melukai seperti sebelumnya. Terima kasih telah mencabut belati pada hatiku. Telah mengobati, hingga aku lupa sakitnya dikhianati. Terima kasih atas ketegaranmu menghadapi kejamnya kehidupan. Semoga Allah memberimu kebahagiaan dunia dan akhirat, meridhoi langkahmu, memudahkan urusanmu, melancarkan tujuanmu. Mengabulkan doa-doamu. Aamiin
19 Juni 2021
Aku heran, aku yang terlalu sensitif atau pada dasarnya naluri menerka-nerkaku yang kadang benar atau barangkali aku memang terlahir cengeng dari kecil. Jujur bukan inginku menjadi orang yang bermental lemah seperti ini. Sedikit-sedikit menangis, sedikit-sedikit sensitif. Seharusnya kalo memang tidak suka bilang saja. Jangan hapus simpan, hapus simpan. Sehingga membuatku berprasangka buruk. Jika memang hubungan aku dengan anaknya tidak disukai katakan saja. Aku mundur dengan teratur.
Setiap itu terulang, maka dari lubuk hatiku yang paling dalam aku sudah memaafkannya. Kusimpan kembali nomor yang sama itu. Walau nomor itu selalu membuatku meneteskan air mata. Namun terulang terus sehingga aku tidak percaya lagi dengan yang diucapkannya bahwa ponselnya rusak menghapus nomor dengan sendirinya. Apakah harus dengan nomor yang sama? Mengapa tidak nomor lainnya pula. Terkadang aku merasa berada diambang batas kesabaranku, berada diambang mengalahkan egoku. Aku seperti tidak sanggup lagi dengan cara mereka bersikap. Baik ibu maupun anaknya. Ibunya yang seperti itu dan anaknya yang seperti ini. Lalu katakan padaku Tuhan. Siapa lagi tempatku menitipkan rasa jika ini, itu bukan semua. Siapa yang pantas untukku menitipkan rasa ini tanpa meneteskan airmata seperti ini. Aku benar-benar lelah dengan ujian asmara ini. Aku ingin bahagia seperti mereka di luar sana. Punya keluarga kecil, dicintai sepenuh hati, diperhatikan, disayangi orangtua dan mertua. Tidak tersiksa batinnya. Mengapa batinku selalu merasa tersiksa. Kalau memang aku yang salah tunjukkan kesalahanku Tuhan.
6 Agustus 2021
Lama tak menuliskan uneg2 ini. Kejadian2 kemarin membuatku semakin mawas diri. Sejak telpon hari itu pembahasan hari itu tentang sang ayah yang tak merestui. Sampai si ibunya yg menyetujui dan menyayangiku serta tidak adanya pembelaan darinya untukku.
Sakit. Jelas. Harus diakui aku terluka dengan ketidaktegasannya. Mencoba mengalah melupakan semua topik kemarin2. Hanya 2 hari kembali menjengkelkan.
Ternyata aku salah telah mencintai seorang pecundang, ia hanya ingin bermain2 dengan asmara. Ketulusanku disia-siakan. Pesan2ku mulai malas membalasnya sehingga dilamban2kan.
Aku mengikrarkan diri sebagai seorang yang tersakiti, kemudian mengikrarkan diri sebagai seorang yang paling beruntung memiliki. Memiliki seorang pecundang cinta.
Aku nyatakan pada ibunya bahwa aku mulai benar-benar putus asa menyerah dengan sikap putranya itu. Tak ada kejelasan dihubungan ini hanya memacu adrenalinku saja.
Sudah Lelet segala tindak tanduknya, komunikasi buruk, tidak tegas. Ya kau memang banyak kekurangan. Kulengkapi kau tapi kau tetap menunjukkan kekurangan itu. Apa kau pikir aku pengemis cintamu? Apa kau pikir aku seseorang yang dengan mudahnya kau Sakiti? Lakukan sesuka hatimu. Aku pun akan melakukan sesuka hatiku.
Mulai sekarang aku tidak ada hubungan apa pun denganmu. Pergi, pergilah sesuai keinginanmu. Lihat siapa yang lebih menyesal nantinya. Temukan wanita yang menerimamu seperti aku. Jika tak kau temukan ratapi nasibmu itu.
Mulai sekarang aku akan mengikrarkan diri bahwa aku tidak butuh lagi sosok laki-laki di hatiku. Biarkan saja aku mencintai diriku sendiri. Matilah saja kalian para pecundang cinta.